Konferensi Internasional : Fenomena Disinformasi

Disinformation and Discourse, Rebuilding Trust in Institutions, Platforms and Civic Spaces

Selasa, 21 Agustus 2018 di Jakarta, berlangsung konferensi internasional mengenai Disinformasi yang melibatkan hampir 30 narasumber lintas negara. Diselenggarakan oleh Digital Asia Hub yang berbasis di India bekerjasama dengan Berkman Klein Center dari Harvard dan Chatam House London.

Tadinya Mafindo diundang untuk mengisi sesi singkat di akhir acara, namun sehari sebelumnya diminta mengisi panel yang lebih serius menyangkut regulasi dan kebijakan, sekaligus bercerita tentang situasi hoax di Indonesia.

Konferensi diawali oleh Malavika Jayaram yang merupakan pimpinan Digital Asia Hub, dilanjutkan pidato khusus oleh David Kaye dari PBB, utusan khusus untuk promosi dan perlindungan kebebasan berpendapat.

Sesi pertama bercerita tentang Peta Disinformasi Global yang dimoderatori oleh Amar Ashar dari Harvard, dengan narasumber Dr. Pirongrong Wakil Rektor Universitas Chulalongkorn Thailand, Keith Richburg, Direktur Pusat Studi Jurnalisme dan Media Universitas Hong Kong, Carlos Affonso Souza, Direktur Insitut Teknologi Rio Brazil dan Dr. Carol Soon dari NUS Singapura.

Dilanjutkan dengan Keynote oleh Prof. Wolfgang Schulz dari Hamburg, Jerman, tentang pengalaman pendekatan legal di Eropa, khususnya terkait implementasi UU yang kontroversial NetzDG.

Selanjutnya di sesi kedua, topik terkait Regulasi dan Kebijakan, yang dipandu oleh Prof Wolfgang dengan narasumber, Gayatri Venkiteswaran, Pengajar di Universitas Nottingham, Raman Jit Singh Chima dari AccessNow, Lisa Garcia dari Filipina dan saya mewakili Mafindo.

Saya memanfaatkan waktu yang singkat, sekitar 10 menit, dengan bercerita terkait fenomena hoax di Indonesia, dan model pendekatan yang sedang dilakukan di Indonesia, yaitu mengusahakan pendekatan multipronged approach, yang melibatkan beberapa pendekatan sekaligus, cekfakta, edukasi literasi, silaturahmi. Ketika bicara regulasi, saya sampaikan bahwa Indonesia sudah memiliki KUHP dan UU ITE, yang meski belum sempurna, tapi sudah bisa digunakan untuk menjerat pelaku penyebaran berita bohong YANG mengandung hasut, ajakan merusuh, fitnah, dan ujaran kebencian.

Meskipun saya menekankan bahwa, sebagai CSO, kami mendorong pendekatan Restorative Justice, yaitu pendekatan keadilan dengan memediasi pihak yang berperkara, dan mencari solusi kekeluargaan atau musyawarah. Hal ini sangat penting sekali, karena banyak kasus di medsos melibatkan orang yang masih sangat awam terkait teknologi medsos ataupun undang-undang. Kita sendiri melihat bahwa UU ITE, selain punya dampak positif yaitu adanya kepastian hukum untuk bidang digital, tetapi masih ada yang menggunakannya untuk membungkam pengkritik, dan ini mengancam kualitas kebebasan berpendapat kita. Hal ini diperparah karena masih rendahnya pemahaman sebagian penegak hukum kita terkait UU ITE dan problematika di dunia digital.

Sehingga pendekatan ala Jerman, ataupun Malaysia (yang notabene undang-undangnya hanya berumur 4 bulan, baru saja dibatalkan oleh PM Mahathir Muhammad kemarin) sebenarnya tidak perlu dilakukan di Indonesia. Kita lebih baik, menggunakan UU yang sudah ada, dan membenahi pemahaman para aparatur hukum terkait hal itu. Undang-undang baru justru bisa berpotensi menambah masalah baru yang lebih banyak, jika tidak dibuat dengan sangat hati-hati.

Saya juga bercerita tentang inisiatif yang dilakukan Mafindo, termasuk di dalamnya CekFakta yang merupakan portal kolaborasi bersama 22 media online, mirip dengan inisiatif CrossCheck di Prancis tahun 2017 lalu, tapi CekFakta tidak hanya fokus untuk issue politik, melainkan juga issue lain termasuk kesehatan dan lainnya. CekFakta ini merupakan kerja bareng Mafindo, AMSI, AJI, dan 22 media online yang didukung oleh Google. Indonesia juga sudah memiliki empat lembaga yang bersertikasi IFCN/Poynter, sehingga ke depan bisa semakin sinergis untuk ikut membersihkan hoaks di berbagai platform termasuk Facebook.

Indonesia juga tengah memasifkan gerakan literasi digital, salah satunya dengan adanya gerakan nasional literasi digital Siberkreasi yang merupakan kolaborasi bersama antara komunitas-komunitas pegiat literasi digital yang didukung oleh Kementrian Kominfo Indonesia. Ini adalah langkah jangka panjang, namun sangat penting, untuk meningkatkan kualitas literasi masyarakat ke depan.

Di Indonesia juga tengah berlangsung upaya untuk memperbaiki kualitas jurnalisme, mendorong jurnalisme berkualitas. Dewan Pers, dan berbagai asosiasi media dan jurnalis juga tengah berbenah diri. Salah satunya adalah Google dan AJI tengah mentraining 1800 jurnalis terkait Factchecking dan Verifikasi, dimana kami juga terlibat dalam penyusunan materinya.

Tak kalah penting, gerakan silaturahmi dan dialog juga harus didorong kuat. Terakhir Mafindo membuat dialog Hoaks dan Pemilu yang mendudukkan beberapa partai politik yang sering bersilang pendapat, diantaranya Gerindra, Demokrat dan Nasdem. Ini adalah upaya untuk mengajak bahwa upaya debat publik harus terus didorong, tapi sekaligus menjauhi penggunakan informasi bohong atau hoaks.

Sesi ketiga bertema Polarisasi, Kebencian dan Keteraturan Publik, yang dimoderatori oleh Dr. Champa Patel dari London. Narasumber adalah Prof Cherian George yang sangat dikenal publik Indonesia lewat bukunya Hate Spin. James Siguru Wahutu dari Minnesota, New New Aye dan Myanmar dan Deepanjali Abeywardena Srilanka. Di sesi ini banyak dicontohkan di beberapa negara kejadian dimana informasi yang dipelintir di media sosial, sehingga menyebabkan kerusuhan, dan jatuh korban meninggal.

Sesi keempat bertema Platform dan Kebijakannya. Dimoderatori Sunil Abraham dari India. Narasumber Irene Jay Liu dari Google News Lab, Mark Surman dari Mozilla dan Agung Yudha dari Twitter Indonesia. Diskusi di sesi ini terkait bagaimana Platform yang ada memandang fenomena disinformasi ini, dan bagaimana mereka menyikapinya.

Selain itu juga diisi beberapa presentasi pendek, dari narasumber berbagai negara terkait Tools yang dibuat oleh komunitas, akademisi dan media untuk menangkal fenomena disinformasi ini.

Selesai presentasi, saya didatangi oleh beberapa pihak. The Guardian meminta waktu untuk wawancara. Dr. Pirongrong dari Thailang akan membantu membuat konferensi Factchecker Asia Pasific. Dari kedutaan Australia pun tertarik untuk mengajak diskusi.

Kami bersyukur, beberapa langkah kecil yang kami lakukan juga ternyata diapresiasi oleh beberapa pihak dari negara lain. Beberapa negara tertarik untuk kolaborasi dan bertukar pengalaman dan pikiran.

Dan upaya ini tak mungkin bisa terjadi tanpa adanya doa dan dukungan kuat dari berbagai pihak, sehingga kami mengucapkan terimakasih, semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik.

Fastabiqul Khairat

-Zek

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *